Sunday, January 8, 2017

Bersyukur dan Memaafkan



Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan :” Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya adzab-ku sangat pedih”
(QS. Ibrahim, 14 :7)

Bersyukur menurut KBBI didefinisikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah dan adanya perasaan lega , senang, dsb. Penelitian yang dilakukan oleh Tulbure (2015) pada sekitar 100 orang dewasa di Rumania tentang hubungan antara bersyukur, kondisi depresi dan religiusitas seseorang, menyebutkan bahwa ada sebuah hubungan yang terbalik antara perasaan bersyukur dan kondisi depresi yang dimiliki oleh seseorang. Mereka yang memiliki rasa bersyukur yang tinggi cenderung memiliki symptom depresi yang lebih sedikit. Selain itu, rasa syukur yang dimiliki oleh mereka yang memilik tingkat religiusitas yang baik, cenderung lebih kuat dari pada mereka yang memiliki tingkat religiusitas yang kurang.

Memaafkan
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun
(QS. Al Baqarah, 2 : 263)

“Jika kamu menyatakan suatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”
(QS. An-Nisaa, 4: 149)
Nabi Musa telah bertanya kepada Allah: “Ya Rabbi! Siapakah diantara hamba-Mu yang lebih mulia menurut pandangan-Mu?” Allah berfirman : “Orang yang apabila berkuasa (menguasi musuh), dapat segera memaafkan”.
(Hadits Qudsi Riwayat Kharaithi dari Abu Hurairah)

Memaafkan adalah sebuah kondisi tertentu dalam diri yang melibatkan pikiran, perasaan dan tindakan tertentu. Pemikiran yang masuk dalam konteks memaafkan misalnya yaitu saat ada seseorang atau sesuatu yang melakukan ketidakadilan terhadap diri seseorang. Pikiran tentang peristiwa tersebut memicu munculnya perasaan marah, kecewa, kesal, geram, dan putus asa yang akhirnya menjadi masalah karena tersimpan lama dalam diri dengan intensitas yang semakin tinggi. Maka dalam konteks memaafkan, seseorang tersebut menyadari bahwa rasa marahnya muncul dan ia mampu bertindak sebagai subjek sehingga bisa melepaskan rasa marah yang timbul dan mampu menemukan hikmah untuk perkembangan dirinya( Gani, 2011)

Ibin Katibin, seorang psikiater sekaligus pengarang buku “Psikoterapi Holistik Islami” mengatakan bahwa gejolak jiwa yang marah dan perasaan benci terhadap seseorang akan menimbulkan goncangan pada neurotransmitter sehingga apabila dibiarkan akan memunculkan jiwa otonom yang menguasai keadaan. Maka dengan memaafkan orang lain, insya Allah fungsi neurotransmitter akan kembali normal dan jiwa akan kembali nyaman. (Tadjudin, 2007)

Terapi memaafkan ternyata juga bermanfaat untuk mengurangi tingkat kambuh para pemakai narkoba di sebuah pusat rehabilitasi narkoba di Filipina. Bahkan yang terjadi, tidak hanya tingkat kambuh pasien yang bisa dikurangi, tingkat rasa syukur dari pasien pun juga meningkat dari sebelumnya setelah dilakukan dua belas kali sesi forgiveness therapy. Sebuah dampak positif yang tidak didapatkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan forgiveness therapy oleh peneliti (Orbon,dkk 2015).

Memaafkan juga menjadi salah satu alternative coping untuk dampak negatif dari pergaulan dengan sesamanya yang dialami oleh remaja, baik itu dalam bentuk bullying, balas dendam, disakiti secara fisik atau emosi. Termasuk juga bermanfaat untuk mereka yang merupakan korban agresi fisik yaitu untuk menurunkan tingkat kemarahan, rasa permusuhan, kelakuan buruk, agresivitas dan bahkan menaikkan tingkat empati mereka(Flanagan, dkk, 2012 & Park, et all, 2013)

So, masih ragu untuk terus bersyukur? Masih ga rela untuk memaafkan orang lain? yuk mikir :D

Orang Beriman Tertib di Jalan Raya



Awal mula melihat tulisan “Orang Beriman Tertib di Jalan Raya”, saya langsung mengernyitkan dahi sambil bertanya, apa hubungannya? Sembari merenung, selintas muncul dalam pikiran saya, tulisan itu telah menghipnosis saya ternyata. Sederhana, tapi memaksa saya untuk berpikir keras. Mencoba menerka apa makna dari tulisan tersebut sekaligus membuatnya rasional di pikiran saya.

Hipotesis yang muncul yaitu semakin orang beriman semakin dia tertib di jalan raya. Pertanyaannya sekarang bagaimana orang bisa dikatakan beriman? Kalau menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pengertian beriman adalah mempunyai keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika demikian, maka termasuk juga meyakini bahwa Tuhan itu pasti Maha Baik. Tuhan juga pasti Maha Indah, semuanya teratur dengan baik olehNya. Kalau tidak salah, sepertinya tidak pernah kita mendengar Tuhan Maha Terburu-buru atau Tuhan Maha Berantakan bukan?

Lha berarti apa analisisnya kalau dijalan masih sering kebut-kebutan yang membuat orang lain tidak nyaman? Lalu bagaimana juga jika seenaknya menerobos lampu merah atau membuat jalan macet karena berhenti tidak pada tempatnya? Barangkali memang kadar “beriman” yang dimiliki seseorang tersebut perlu dipertanyakan kembali.

Selanjutnya, dari ngendikane kanjeng nabi, dikatakan bahwa "Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana dia mencintai kebaikan itu untuk dirinya sendiri". Berdasarkan perkataan mulia tersebut, barangkali kita bisa dapatkan analisis ini :

1.    Saya suka kalau ada orang naik motor dengan kecepatan standar dan tertib, sebagaimana banyak orang juga menyukai hal yang sama ‪#‎NoNgebutbikinOrangTakut
2.    Saya suka kalau pas lampu merah, saat saya mau ke kiri (jalan terus) saya tidak harus berhenti karena hak jalan saya dipakai plus dipenuhi pengendara yang mau lurus. Sebagaimana banyak orang juga menyukai hal yang sama ‪#‎NoKorupsiHakJalanOrangLain

Nah, menjadi gamblang kiranya ya maksud dari tulisan “Orang Beriman Tertib di Jalan Raya”. Orang beriman pasti akan senang saat saudaranya senang karena dia juga senang apa yang disenangi oleh saudaranya. Orang beriman pasti tidak akan tega mengambil hak saudaranya, termasuk mengambil hak jalan saudaranya saat di jalan raya. Orang beriman pasti juga senang keteraturan termasuk mematuhi peraturan berlalu lintas yang sudah ditetapkan. Kalau demikian, hipotesis bahwa semakin tinggi keimanan seseorang semakin tertib seseorang di jalan raya (semoga) bisa diterima.

Membayangkan betapa indahnya saat bu menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan berhasil membangun sinergi dengan pihak kepolisian untuk merancang silabus pelatihan dengan tema “Pembentukan karakter masyarakat Indonesia lewat perilaku tertib di jalan raya”. Pelatihan yang tentu saja tidak hanya akan berdampak pada kadar keimanan seseorang, tetapi juga berdampak luas pada berbagai bidang di Negara Indonesia tercinta ini.

Maka menjadi semakin indahlah negeri ini saat semakin banyak orang yang berhasil memimpin diri untuk tertib di jalan raya. Maka menjadi semakin tertatalah negeri ini saat semakin banyak orang yang berhasil menata diri untuk tertib di jalan raya. Maka menjadi semakin makmurlah negeri ini saat orang tidak seenaknya mengambil hak orang lain yang bukan haknya, termasuk hak jalan di jalan raya.

Jadi kalau ada sebuah perkataan yang mengatakan bahwa life is choice atau hidup adalah pilihan, berarti perilaku tertib atau tidak tertib di jalan raya adalah sebuah pilihan. Dengan sadar saya, Anda dan kita semua mulai saat ini dan seterusnya bisa mengatakan, “Saya memilih untuk tertib di jalan raya karena saya adalah orang beriman dan memiliki karakter yang baik”. Tentu saja anda boleh merenungkannya terlebih dahulu, sebelum Anda mulai praktikkan kebiasaan untuk tertib di jalan raya, sekarang, dan seterusnya.

by the way, tulisan ini akhirnya dipublish di Bernas :)