Wednesday, November 30, 2016

Memotivasi Anak ‘Malas Belajar’ dengan Neuro-Logical Level



“Tidak ada anak malas, yang ada adalah mereka yang tidak tahu apa tujuan mereka dan apa pentingnya tujuan mereka tersebut”

Dalam ilmu Neuro Linguistic Programming (NLP), ada salah satu presuposisi (pengandaian) dari NLP yang berbunyi “mind and body are connected, therefore influence each other”- pikiran dan tubuh saling berhubungan, oleh karena itu saling mempengaruhi. Presuposisi ini menjelaskan bahwa pikiran dan tubuh adalah dualisme yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.  Saat pikiran kita merasa bisa dan ingin melakukan begitu banyak hal, tetapi tubuh kita dalam kondisi tidak fit (atau berlaku skenario sebaliknya), ini disebut kondisi yang tidak selaras. Saat kondisi tidak selaras maka produktivitas pun menurun.

Jika kita gunakan presuposisi NLP di atas untuk membedah kasus ‘malas belajar’ pada anak atau siswa, bisa jadi kemalasan anak atau siswa untuk belajar disebabkan tidak adanya hal yang memotivasi pikiran mereka untuk belajar dan tidak mendukungnya kondisi tubuh maupun lingkungan tempat mereka belajar. Saat kedua penyebab ini bisa dikelola dengan baik, tentu saja semangat belajar anak akan jauh lebih mudah dimunculkan.

So, bagaimana NLP memberikan solusi untuk mengelola tubuh dan pikiran seorang anak agar tetap termotivasi belajar?

Salah satunya yaitu dengan menggunakan konsep Neuro-Logical Level (NLL) yang dipopulerkan oleh Robert Dilts. Menggunakan NLL ini, kita bisa memetakan bagaimana proses perubahan dalam diri seseorang bisa dipahami dengan menggunakan model level atau tingkatan di dalamnya. Adapun urutan tingkatan-tingkatan perubahan dalam NLL ini (mulai dari yang paling dasar) yaitu :
1.      Lingkungan (environment), yaitu bagaimana kita bereaksi terhadap kondisi eksternal tempat kita beraktivitas
2.      Perilaku (behavior), yaitu tentang perilaku spesifik yang sedang kita lakukan
3.      Kapabilitas (capability), yaitu sejumlah skill yang kita miliki dan kita gunakan sehari-hari baik hard skill maupun soft skill
4.      Keyakinan atau nilai (belief/ value) yaitu kumpulan berbagai macam hal yang sangat kita yakini dan menjadi dasar dari sebuah perilaku
5.      Identitas (identity), yaitu terkait dengan identitas diri, keberadaan visi dan misi hidup termasuk nilai inti.
6.      Spiritual (spiritual), yaitu tingkatan yang didalamnya seseorang akan menanyakan mengenai apa makna keberadaannya di dunia ini.

Berbeda dengan pola penanganan terhadap anak ‘malas belajar’ yang biasanya dilakukan oleh para orang tua maupun guru, yang cenderung baru sampai tingkatan perilaku, menggunakan NLL sebagai solusi untuk anak ‘malas belajar’ tidak hanya sampai di tingkatan perilaku saja, tetapi juga menyentuh level yang lain, sebagaimana digambarkan berikut ini :

1.      Melakukan identifikasi lebih lanjut tentang lingkungan seperti apa yang ideal menurut anak sehingga dia merasa nyaman untuk belajar. Adakah pengaruh dari eksternal yang membuatnya malas belajar? mungkin dari teman, mungkin karena game, mungkin karena guru yang tidak menyenangkan, dan lain sebagainya.
2.      Jika tingkatan lingkungan sudah selesai, bisa melanjutkan ke tingkatan untuk mengkondisikan perilaku belajarnya agar lebih fokus. Misalnya saja dengan menyepakati kapan waktu anak belajar, berapa lama satu sesi untuk belajar, memberikan reward atau punishment jika melanggar aturan tentang belajar yang telah disepakati, dan lain sebagainya
3.      Pada tingkatan kapabilitas, kita bisa memberikan tip-tip belajar yang efektif dan efisien dari para ahli seperti speed reading, quantum learning, visualisasi, memberikan anjuran untuk memodel cara belajar orang lain yang dianggap cerdas dan sebagainya
4.      Adapun pada tingkatan keyakinan/nilai, kita bisa menanyakan kepada anak tentang:
·         Apa untungnya jika belajar rajin
·         Apa ruginya jika masih tetap malas belajar
·         Apa kira-kira hubungan antara rajin belajar dengan cita-cita atau keinginannya di masa depan?
5.      Pada tingkatan identitas, kita bisa menghubungkan dengan apa saja peran-peran yang sedang dan akan dimiliki oleh anak nantinya, misalnya saja :
·         sebagai kakak, kamu harus memberikan contoh yang baik pada adikmu
·         sebagai seorang siswa dari sekolah, kamu harus bisa menunjukkan citra yang positif
·         Kalau ke depan kamu ingin menjadi seorang pemimpin besar, tentu kamu harus rajin belajar
·         Apa jadinya saat kau menjadi anak pintar nantinya? Kau akan banyak ditawar oleh orang lain
6.      Spiritual, pada level ini, kita bisa menghubungkan perilaku malas belajar dengan pahala dan dosa, konsep bersyukur kepada Tuhan, berbakti kepada orang tua, sebagai bentuk ibadah dan sebagainya.

NLP for Parenting : Bahaya Mind Reading



Suatu hari saya harus menemui salah satu klien yang ingin melakukan konsultasi terhadap permasalahan yang dialami oleh anaknya. Kemudian tercapailah sebuah kesepakatan bahwa kami akan bertemu di sebuah kafe untuk membicarakannya. Singkat cerita, hanya sedikit yang beliau ceritakan tentang anaknya tersebut, justru beliau lebih banyak menceritakan tentang permasalahannya dengan istrinya yang ternyata juga sudah dihubungi untuk kemudian menyusul kami di kafe tempat kami bertemu tersebut. Benar sekali, tak berapa lama istri beliau pun muncul dan itu artinya langsung ada dua klien yang harus saya temui saat itu. Wow,benar-benar kejadian tak terduga, asesmen awalnya adalah konsultasi anak, berlanjut jadi konsultasi pasangan.

Masing-masing pun menceritakan masalahnya dan ternyata akar masalah beliau berdua hanya sederhana saja, sesederhana cara penyelesaian yang saya terapkan pada beliau berdua.

Nah, lalu apa akar permasalahan dan penyelesaian yang dikatakan sederhana ini? Pertanyaan yang akan saya jawab setelah topik utama artikel ini selesai dibahas. Semoga sabar yaa..

Kalau kita bicara tentang parenting, sudah pasti yang ada di benak kita adalah berhubungan dengan keluarga. Memang benar demikian adanya. Kata parenting jika diterjemahkan adalah proses bertindak sebagai orang tua. Terdapat kata ‘proses’ yang artinya berkaitan dengan sebuah aktivitas yang sudah, sedang dan akan dilakukan dalam rangka mewujudkan sebuah tujuan untuk menjadi pasangan suami istri maupun orang tua yang sukses dan bahagia. Tentu saja hal ini akan lebih mudah tercapai saat ikatan perkawinan antar mereka kokoh, tetap langgeng.

Kunci kelanggengan perkawinan adalah kemampuan pasangan untuk melakukan penyesuaian dengan dirinya sendiri, pasangannya maupun lingkungan sekitarnya. Adapun salah satu unsur penting dalam penyesuaian perkawinan adalah keberadaan komunikasi yang baik.

Salah satu presuposisi dalam Neuro Linguistic Programming mengatakan “makna komunikasi terletak pada respon yang kita dapatkan”. Sebuah pernyataan sederhana yang kemudian bisa kita artikan bahwa kita dianggap berhasil dalam berkomunikasi saat kita mendapatkan respon dari orang lain seperti yang kita harapkan. Tidak peduli sudah seberapa banyak kata yang sudah kita gunakan, kalau faktanya respon yang kita harapkan dari orang lain belum kita dapatkan berarti belum sah kita dianggap berkomunikasi.

Tentang komunikasi ini, banyak orang sering menganggapnya sepele. Apalagi dengan pasangannya yang sudah saling menemani selama bertahun-tahun. Maka yang sering terjadi adalah, masing-masing mengasumsikan bahwa pasangannya pasti sudah tahu apa yang ada dalam pikirannya dan sekaligus menganggap kita juga sudah tahu banyak tentang pasangan kita sehingga tidak perlu melakukan terlalu banyak konfirmasi untuk memastikannya.

Maka di sinilah letak bahaya mind reading (membaca pikiran orang) dalam dunia parenting, yaitu saat seseorang belum menyadari sepenuhnya bahwa the map is not the territory, bahwa apa yang ada dalam pikiran kita belum tentu sama dengan apa yang ada dalam pikiran pasangan kita.

Mudahnya begini, kalau ada seorang pria dewasa yang saat kecilnya, pada waktu dia sedang diam, dia dibiarkan saja oleh orang tuanya sampai akhirnya bersedia bicara kembali. Kemungkinan besar pria ini juga akan lebih senang jika dibiarkan sendiri saat sedang diam. Masalah muncul saat si pria ini menganggap pasangannya pasti sudah tahu apa yang harus dilakukannya jika melihatnya ‘diam’ atau saat pria ini membiarkan pasangannya yang sedang ‘diam’ karena menganggap pasangannya punya pola yang sama dengan pria ini. Padahal, bisa jadi polanya akan jauh berbeda.

Virginia Satir, salah satu pakar terapi keluarga yang juga dimodel oleh Bandler dan Grinder mengatakan “our behavior reflects what we have learned. Learning is the basis of behavior. To change behavior, we need to have new learning” Oleh karena itu, perlu lebih berhati-hati saat kita ingin melakukan mind reading dalam kehidupan keluarga kita sehari-hari, baik itu dengan pasangan maupun dengan anak-anak kita. Bolehlah kita melakukannya saat kita memang sudah melihat sebuah konsistensi pola dari perilaku pasangan atau anak-anak kita, walaupun akan tetap lebih kuat lagi jika kita sudah melakukan konfirmasi dengan menanyakannya pada mereka.

Dengan kata lain, jika kita juga tidak ingin pasangan atau keluarga kita melakukan mind reading yang tidak tepat pada kita, sebaiknya kita juga bersedia terbuka, lebih asertif, untuk menyampaikan apa adanya apa yang kita inginkan. Model “I-Statement” boleh kita gunakan sebagai salah satu metode untuk membiasakan menyampaikan keinginan kita. Rumus sederhananya adalah When you… I feel.. then I want…. (Saat kamu… Saya merasa…. sehingga saya ingin….). Contohnya, saat kamu terlalu banyak bertanya pada waktu saya sedang ingin diam, saya merasa tidak nyaman, saya hanya ingin kamu membiarkan saja saya beberapa lama saat saya diam sehingga saya merasa nyaman.

Jadi, apa hal sederhana yang sebenarnya menjadi permasalahan klien yang saya ceritakan di awal? Ya, masalahnya hanya terletak pada komunikasi. Lalu apa hal sederhana yang diterapkan untuk membantu mereka? Hal sederhana itu adalah membuat masing-masing bersedia terbuka untuk menyampaikan apa sebenarnya keinginan dan harapan sehingga terjalin pemahaman yang sama antara beliau berdua.

Sekali lagi, the map is not the territory, setiap individu adalah unik. Maka, sebagaimana pesan Virginia Satir di atas, terus belajar untuk memahami keunikan orang lain, termasuk pasangan kita, anak-anak kita, keluarga kita dan tentu saja untuk ini, dengan NLP akan lebih mudahlah prosesnya.

Apakah Pendidikan Menghambat Kreativitas (part 4-end)



Sir Ken Robinson dalam presentasinya di forum TED (2006) mengatakan bahwa sistem pendidikan di seluruh dunia memiliki hierarki subjek yang sama. Matematika dan Bahasa menempati peringkat tertinggi sedangkan ilmu-ilmu yang lain menempati urutan di bawahnya. Semakin dewasa usia anak, justru pendidikan lebih banyak difokuskan pada “pinggang ke atas”. Maksudnya adalah lebih banyak berfokus pada aspek kognitif yang bahkan juga hanya berfokus pada otak kirinya saja. 

Padahal menurut Gardner (dalam Chatib, 2010) kecerdasan seseorang dapat dilihat dari banyak dimensi. Tidak hanya berupa kecerdasan verbal atau logika saja. Maka Gardner memberi label “multiple” untuk menunjukkan luasnya makna sebuah kecerdasan. Sekaligus juga menunjukkan bahwa kecerdasan manusia bisa terus berkembang.

Berkaca pada model komponensial dua tingkat Runco dan Chand, saat seseorang mendapatkan semakin banyak knowledge atau mungkin lebih tepatnya dirangsang dengan begitu banyak pengetahuan dengan model yang bervariasi, tentu saja akan memunculkan lebih banyak ide kreatif yang menyebabkan seseorang tersebut bisa menyelesaikan berbagai macam problem yang dihadapinya, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Kalau kemudian Gardner juga mengatakan bahwa kecerdasan seseorang terkait dengan proses discovering ability, yaitu menemukan kemampuan seseorang, maka demikian juga dengan proses kreatif pada diri seorang anak. 

Kalau dikaitkan dengan proses pendidikan, maka diperlukan kreativitas pula dari para pengajar atau guru untuk merancang sebuah proses kreatif dalam pembelajaran sehingga menstimulasi para siswa untuk bisa mandiri menyelesaikan masalah-masalah yang ditemukannya.

Kondisi ini yang juga belum selalu ada pada sebuah sistem pendidikan pada sebuah negara, terutama di Indonesia. Masih jarang terdapat guru yang mampu mengajar dengan kreativitas baru dan menarik. Kondisi ini berarti mengindikasikan bahwa kualitas guru di Indonesia masih rendah. Kalau memang demikian adanya, berarti efektivitas sebuah kurikulum pada perguruan tinggi yang mencetak para guru juga harus dipertanyakan.

Jika dihubungkan dengan model sistem ala Csikzentmihalyi, bahwa proses kreatif berkaitan dengan perubahan pada sistem simbolik yang ada pada lingkungan individu yang mana ketika terjadi perubahan maka akan mempengaruhi pikiran dan perasaan dari anggota suatu kebudayaan. Dalam hal ini, kreativitas diandaikan sebagai sekelompok orang yang saling berbagi cara berpikir dan berperilaku, yang belajar satu dengan yang lain dan meniru perilaku masing-masing. 

Maka saat dalam sebuah lingkungan tertentu tidak dikreasikan untuk memancing munculnya iklim kreatif, maka anggota dalam lingkungan tersebut tentu saja tidak akan terstimuli untuk menjadi kreatif. Guru dalam sebuah institusi pendidikan memegang peranan penting sebagai figur otoritas sekaligus pemegang kebijakan yang bisa mengkondisikan lingkungan kelas atau sekolahnya untuk merangsang kreativitas dalam pembelajaran. Saat hal itu tidak dilakukan karena kurangnya kemampuan, tentu saja kreativitas di kalangan siswa akan sulit untuk muncul.

Kreativitas guru dalam mengajar ini bisa diterapkan di berbagai bidang kreativitas dalam pendidikan. Misalnya saja untuk memunculkan kreativitas dalam pendidikan dan pengajaran bahasa (Tin, 2010), maka sebaiknya guru dan siswa harus saling melibatkan diri untuk belajar tentang artikulasi misalnya, dan juga diberikan tugas untuk saling memberikan masukan kepada rekan yang lain. Beberapa kegiatan bisa dilakukan untuk meningkatkan kesadaran siswa maupun guru bahwa mereka telah melakukan sebuah produk dari kreativitas contohnya :
1.    Siswa dan guru saling memproduksi output tertentu (misalnya puisi)
2.    Siswa dan guru saling memberikan evaluasi untuk memilih mana hasil karya yang paling kreatif
3.    Siswa dan guru saling menuliskan evaluasi masing-masing
4.    Siswa dan guru membandingkan hasil karya paling kreatif dan yang paling kurang kreatif
5.    Siswa dan guru saling mendiskusikan kenapa satu hasil karya tersebut dianggap paling kreatif diantara yang lain

Dengan beberapa analisis di atas, apakah pendidikan menghambat kreativitas? Jika tidak ada perubahan apapun maka tentu saja jawabannya adalah ‘iya’. Ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan untuk menciptakan individu yang kreatif :
1.    Proses seleksi untuk calon siswa atau mahasiswa seharusnya tidak hanya menekankan pada sisi kemampuan kognitif saja, melainkan juga memperhatikan kemampuan lain yang dimiliki pelamar.
2.    Keberadaan tenaga pengajar yang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi
3.    Keberadaan sebuah sistem pembelajaran yang bisa menyesuaikan dengan pola belajar siswa
4.    Keberadaan sebuah sistem yang mengapresiasi untuk pola-pola kreatif yang muncul dari siswa dan memfasilitasi untuk mengembangkannya

Pendidikan seharusnya bisa menjadi solusi untuk semakin banyaknya orang kreatif di negara manapun termasuk Indonesia. Mendidik berarti menjadikan potensi seseorang yang telah ada bisa semakin berkembang, termasuk potensi untuk menjadi semakin kreatif. Pendidikan harus terjadi sepanjang hayat dan terjadi sebagai proses yang memanusiakan manusia.

Apakah Pendidikan Menghambat Kreativitas (part 3)



Kalau kemudian kita hubungkan teori dari Kohlberg dan Runcho-Chand di atas dengan kondisi pendidikan di Indonesia misalnya, maka akan ditemukan hubungan yang erat di dalamnya. Pendidikan formal kita selama ini menjalankan pola yang menganggap buruk sebuah kesalahan yang dilakukan oleh para siswa. Perilaku-perilaku yang melanggar aturan tata tertib akan langsung diberikan poin hukuman yang bisa berujung pada dikeluarkannya siswa dari sekolah. 

Kesalahan dalam mengerjakan sebuah ujian sekolah maupun ujian nasional akan berdampak pada jeleknya nilai rapor dan bahkan ketidaklulusan sekolah. Para siswa dipaksa untuk mempelajari berbagai macam pelajaran dengan standar tertentu dan dididik agar jangan sampai melakukan kesalahan di dalamnya. Seolah tidak ada tempat bagi orang gagal dalam berbagai mata pelajaran tersebut.

Maka saat seorang siswa melakukan kesalahan dalam sebuah mata pelajaran, siswa tersebut biasanya akan langsung dicap sebagai “siswa gagal” tanpa sekolah mau tahu apakah penyebab kegagalannya barangkali disebabkan karena model belajarnya yang tidak sesuai dengan model pembelajaran yang dilakukan oleh guru.  Artinya, proses evaluasi yang memberdayakan dan memotivasi tidak dilaksanakan dengan baik. 

Anak cenderung takut untuk melakukan kesalahan, takut menjadi salah. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa menjadi salah itu adalah kreatif, tetapi saat seseorang tidak siap untuk menjadi salah maka pasti tidak akan berani untuk memunculkan sesuatu yang baru yang merupakan produk kreativitas.

Sistem pendidikan di Indonesia pun masih cenderung menyamaratakan standar kecerdasan satu siswa dengan yang lainnya dengan sebuah metode penilaian  dan parameter yang sangat sempit yaitu hanya melibatkan aspek kognitif saja (Chatib, 2010). Semua siswa mulai dari tingkat dasar hingga jenjang pendidikan tinggi dipaksa untuk mengikuti standar pendidikan yang sempit ala “kacamata kuda” yang disusun oleh para pengambil kebijakan di negara Indonesia. 

Padahal menurut Spearman dengan teori Ambang-nya (1927, dalam Runco 2007) menyebutkan bahwa ada hubungan memang antara kreativitas dan intelegensi, tetapi hanya dalam level kemampuan tertentu saja. Intelegensi itu penting tetapi tidak cukup untuk sebuah prestasi yang kreatif.

Sementara itu, Standler (1998) mencoba membedakan kreativitas dengan intelegensi. Orang yang pandai memiliki kemampuan untuk belajar dan berpikir, sementara orang yang kreatif melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun demikian, pada dasarnya kedua jenis kemampuan tersebut saling mendukung dan mengembangkan. Orang bisa menjadi kreatif dalam menghasilkan ide tentu juga karena dia memiliki sejumlah pengetahuan sebagai dasar untuk memunculkan begitu banyak opsi yang membuatnya menjadi semakin kreatif....

to be continues...