Wednesday, November 30, 2016

Apakah Pendidikan Menghambat Kreativitas (part 3)



Kalau kemudian kita hubungkan teori dari Kohlberg dan Runcho-Chand di atas dengan kondisi pendidikan di Indonesia misalnya, maka akan ditemukan hubungan yang erat di dalamnya. Pendidikan formal kita selama ini menjalankan pola yang menganggap buruk sebuah kesalahan yang dilakukan oleh para siswa. Perilaku-perilaku yang melanggar aturan tata tertib akan langsung diberikan poin hukuman yang bisa berujung pada dikeluarkannya siswa dari sekolah. 

Kesalahan dalam mengerjakan sebuah ujian sekolah maupun ujian nasional akan berdampak pada jeleknya nilai rapor dan bahkan ketidaklulusan sekolah. Para siswa dipaksa untuk mempelajari berbagai macam pelajaran dengan standar tertentu dan dididik agar jangan sampai melakukan kesalahan di dalamnya. Seolah tidak ada tempat bagi orang gagal dalam berbagai mata pelajaran tersebut.

Maka saat seorang siswa melakukan kesalahan dalam sebuah mata pelajaran, siswa tersebut biasanya akan langsung dicap sebagai “siswa gagal” tanpa sekolah mau tahu apakah penyebab kegagalannya barangkali disebabkan karena model belajarnya yang tidak sesuai dengan model pembelajaran yang dilakukan oleh guru.  Artinya, proses evaluasi yang memberdayakan dan memotivasi tidak dilaksanakan dengan baik. 

Anak cenderung takut untuk melakukan kesalahan, takut menjadi salah. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa menjadi salah itu adalah kreatif, tetapi saat seseorang tidak siap untuk menjadi salah maka pasti tidak akan berani untuk memunculkan sesuatu yang baru yang merupakan produk kreativitas.

Sistem pendidikan di Indonesia pun masih cenderung menyamaratakan standar kecerdasan satu siswa dengan yang lainnya dengan sebuah metode penilaian  dan parameter yang sangat sempit yaitu hanya melibatkan aspek kognitif saja (Chatib, 2010). Semua siswa mulai dari tingkat dasar hingga jenjang pendidikan tinggi dipaksa untuk mengikuti standar pendidikan yang sempit ala “kacamata kuda” yang disusun oleh para pengambil kebijakan di negara Indonesia. 

Padahal menurut Spearman dengan teori Ambang-nya (1927, dalam Runco 2007) menyebutkan bahwa ada hubungan memang antara kreativitas dan intelegensi, tetapi hanya dalam level kemampuan tertentu saja. Intelegensi itu penting tetapi tidak cukup untuk sebuah prestasi yang kreatif.

Sementara itu, Standler (1998) mencoba membedakan kreativitas dengan intelegensi. Orang yang pandai memiliki kemampuan untuk belajar dan berpikir, sementara orang yang kreatif melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun demikian, pada dasarnya kedua jenis kemampuan tersebut saling mendukung dan mengembangkan. Orang bisa menjadi kreatif dalam menghasilkan ide tentu juga karena dia memiliki sejumlah pengetahuan sebagai dasar untuk memunculkan begitu banyak opsi yang membuatnya menjadi semakin kreatif....

to be continues...

No comments:

Post a Comment