Kalau kemudian kita hubungkan teori
dari Kohlberg dan Runcho-Chand di atas dengan kondisi pendidikan di Indonesia
misalnya, maka akan ditemukan hubungan yang erat di dalamnya. Pendidikan formal
kita selama ini menjalankan pola yang menganggap buruk sebuah kesalahan yang
dilakukan oleh para siswa. Perilaku-perilaku yang melanggar aturan tata tertib
akan langsung diberikan poin hukuman yang bisa berujung pada dikeluarkannya
siswa dari sekolah.
Kesalahan dalam mengerjakan sebuah ujian sekolah maupun
ujian nasional akan berdampak pada jeleknya nilai rapor dan bahkan
ketidaklulusan sekolah. Para siswa dipaksa untuk mempelajari berbagai macam
pelajaran dengan standar tertentu dan dididik agar jangan sampai melakukan
kesalahan di dalamnya. Seolah tidak ada tempat bagi orang gagal dalam berbagai
mata pelajaran tersebut.
Maka saat seorang siswa melakukan
kesalahan dalam sebuah mata pelajaran, siswa tersebut biasanya akan langsung
dicap sebagai “siswa gagal” tanpa sekolah mau tahu apakah penyebab kegagalannya
barangkali disebabkan karena model belajarnya yang tidak sesuai dengan model
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Artinya, proses evaluasi yang memberdayakan dan memotivasi tidak
dilaksanakan dengan baik.
Anak cenderung takut untuk melakukan kesalahan, takut
menjadi salah. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa menjadi salah itu adalah
kreatif, tetapi saat seseorang tidak siap untuk menjadi salah maka pasti tidak
akan berani untuk memunculkan sesuatu yang baru yang merupakan produk
kreativitas.
Sistem pendidikan di Indonesia pun
masih cenderung menyamaratakan standar kecerdasan satu siswa dengan yang
lainnya dengan sebuah metode penilaian
dan parameter yang sangat sempit yaitu hanya melibatkan aspek kognitif
saja (Chatib, 2010). Semua siswa mulai dari tingkat dasar hingga jenjang
pendidikan tinggi dipaksa untuk mengikuti standar pendidikan yang sempit ala
“kacamata kuda” yang disusun oleh para pengambil kebijakan di negara Indonesia.
Padahal menurut Spearman dengan teori Ambang-nya (1927, dalam Runco 2007)
menyebutkan bahwa ada hubungan memang antara kreativitas dan intelegensi,
tetapi hanya dalam level kemampuan tertentu saja. Intelegensi itu penting
tetapi tidak cukup untuk sebuah prestasi yang kreatif.
Sementara itu, Standler (1998)
mencoba membedakan kreativitas dengan intelegensi. Orang yang pandai memiliki
kemampuan untuk belajar dan berpikir, sementara orang yang kreatif melakukan
sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun demikian, pada dasarnya
kedua jenis kemampuan tersebut saling mendukung dan mengembangkan. Orang bisa
menjadi kreatif dalam menghasilkan ide tentu juga karena dia memiliki sejumlah
pengetahuan sebagai dasar untuk memunculkan begitu banyak opsi yang membuatnya
menjadi semakin kreatif....
to be continues...
No comments:
Post a Comment