Ujian kelulusan
merupakan salah satu periode penting dalam tahap perkembangan seorang siswa.
Mereka yang bisa melaluinya dengan sukses, sudah pasti akan mempermudah langkah
mereka pada tahap pendidikan selanjutnya dan sebaliknya jika mereka justru
gagal melewatinya. Mereka yang berhasil melewati ujian kelulusan dengan baik
biasanya akan dianggap sebagai siswa yang memiliki prestasi belajar yang baik.
Terkait dengan
prestasi belajar ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial
berpengaruh terhadap prestasi belajar. juga ditemukan adanya pengaruh positif
dari konsep diri terhadap prestasi belajar siswa (Rensi&Sugiarti,2010). Penelitian
lain menyebutkan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi juga oleh self efficacy (efikasi diri) yang
dimilikinya (Widanarti&Indati, 2002). Penelitian ini juga menyimpulkan
bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara dukungan sosial keluarga
dengan self efficacy. Semakin tinggi
dukungan sosial keluarga yang dimiliki remaja, maka semakin tinggi pula self efficacy remaja tersebut.
Menurut Bandura, Self Efficacy adalah penilaian seseorang
mengenai seberapa besar kemampuannya dalam menghadapi suatu situasi yang
dialaminya, termasuk dalam hal akademik. Maka remaja yang memiliki self efficacy yang tinggi akan lebih
aktif dan giat dalam berusaha serta lebih berani dalam menetapkan tujuan yang
ingin dicapai. Juga memiliki motivasi yang tinggi sehingga mempunyai prestasi
akademik yang tinggi.
Selain faktor
dukungan sosial keluarga, beberapa faktor lain yang berpengaruh pada self efficacy remaja adalah keberhasilan
remaja dalam menyelesaikan tugas sebelumnya dan juga pengalaman sukses orang
lain sebagai model. Selain itu, terdapat juga faktor dari kondisi psikologis
dan emosional dari remaja itu sendiri.
Dukungan keluarga dan
self efficacy ternyata juga memiliki
hubungan yang signifikan terhadap keberadaan self regulated learning pada remaja (Adicondro&Purnamasari, 2011).
Menurut Winne (Santrock, 2007) self regulated learning adalah kemampuan untuk
memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk
mencapai suatu tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa tujuan akademik
(meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar
perkalian,mengajukan pertanyaan yang relevan), atau tujuan sosio emosional
(mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya).
Data dari laporan
pelaksanaan UN 2014 yang diterbitkan oleh Balitbang Kemendikbud menyebutkan
bahwa keberhasilan siswa dalam menempuh UN dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu faktor yang berasal dari siswa, faktor guru, dan faktor sekolah.
Salah satu faktor yang berasal dari siswa adalah kesiapan siswa dalam
menghadapi UN, seperti kesiapan fisik, kesiapan mental, serta upaya yang
dilakukan dalam mempersiapkan diri menghadapi UN. Faktor kesiapan siswa dalam
menghadapi UN dapat diukur melalui tingkat persepsi siswa terhadap UN,
diantaranya kecemasan siswa dan kesiapan siswa dalam menghadapi ujian nasional.
Berdasarkan hasil
survei diketahui bahwa faktor kecemasan memang ada pada siswa tetapi masih
dalam batas yang wajar, yang dinyatakan oleh 45,66% responden dari total survey
yang dilakukan kepada peserta UN tahun 2013/2014 di 31 provinsi yang melibatkan
2.154 responden.
Perilaku cemas
merupakan salah satu dampak dari adanya stres pada anak. Akibat dari stres yang
dialami anak adalah munculnya perilaku cemas, tidak percaya diri, pemalu,
agresif, harga diri yang rendah, tertutup, dan gejala psikosomatis. Jika stress
yang dialami ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan tingkat stresnya
menjadi lebih tinggi bahkan sampai pada level depresi hingga memungkinkan
seseorang untuk menyakiti diri sendiri bahkan bunuh diri (Hawari, 2011, dalam
Habiby dan Wangid)
Penanganan terhadap gangguan jiwa
seperti stres dan depresi memerlukan upaya-upaya yang bersifat holistik baik
pada aspek fisik, psikologik, psiko sosial, dan psiko religious (Hawari, 2011
dalam Habiby dan Wangid) Sedangkan dalam konsep strategi manajemen stres
menurut Hunsaker (2001, dalam Habiby dan Wangid), terdapat dua kategori utama
yaitu: Problem Focus Strategies dan Emotional Focus Strategies.
Problem Focus Strategies dapat diaplikasikan ketika kita
yakin adanya kemungkinan untuk membuang atau mengubah stressor, jika
cara tersebut tidak berhasil maka cara kedua bisa dilakukan dengan cara
memodifikasi reaksi negatif yang menyebabkan stress sehingga kita merasa lebih
optimis dan percaya diri. Pada kasus stres siswa dalam menghadapi ujian
nasional, nampaknya cara yang pertama sangat tidak mungkin untuk dilakukan
karena stressor utamanya berupa sebuah kebijakan pemerintah yang
bersifat mengikat dan menyeluruh.
Faktor lain yang juga tidak bisa
dirubah adalah faktor situasi dimana orang tua, sekolah, media massa,
lingkungan dan guru memberi tuntutan dan tekanan yang tidak bisa ditolak oleh
siswa. Maka Emotional Focus Strategies dapat dilakukan dengan
berusaha merubah cognitive appraisal negatif siswa dalam menghadapi
ujian nasional. Pelatihan/training motivasi adalah cara yang sering dipakai
dalam Emotional Focus Strategies. Pelatihan motivasi yang
memberikan muatan materi pada aspek kognitif, emosi dan spiritual secara
efektif dapat menurunkan tingkat stres siswa dalam menghadapi ujian nasional
pada siswa (Habiby&Wangid, 2013).
No comments:
Post a Comment