Wednesday, November 30, 2016

Apakah Pendidikan Menghambat Kreativitas? (part 2)



Berbicara tentang kemampuan sebuah sistem pendidikan untuk menghasilkan seorang individu yang kreatif, Forbes dalam publikasinya menyebutkan bahwa model pendidikan di Amerika telah gagal untuk meningkatkan kreativitas, kemampuan mengambil resiko dan juga kemampuan menyelesaikan masalah yang mana kemampuan tersebut diperlukan dalam entrepreneurship.(Forbes, 2015). 

Kondisi ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kyung Hee Kim (Kim, 2011), seorang professor dari the College of William and Mary. Dalam penelitiannya, Kim menggunakan The Torrance Tests of Creative Thinking (TTCT) yang dikembangkan pada tahun 1966 dan terus diperbaiki lima kali setelahnya (1974, 1984, 1990, 1998 dan 2008). Secara keseluruhan, penelitian ini menghasilkan kesimpulan secara umum bahwa seluruh sampel yang diamati dari lima kali pengembangan TTCT (sejumlah 272599 subjek penelitian mulai dari anak-anak hingga dewasa) mendapatkan skor creative thinking yang cenderung statis atau menurun saat mereka berada pada kelas enam di sekolah dasar.

Data di atas sejalan dengan pembahasan kreativitas dari sudut pandang perkembangan manusia, salah satunya dengan mendasarkan pada teori Kohlberg (Runco, 2007). Kohlberg beranggapan bahwa saat usia anak belum masuk usia sekolah, anak berada pada tahap preconventional stage. Pada tahap preconventional stage ini, anak akan cenderung lebih kreatif, lebih bebas mengekspresikan apapun tanpa dibatasi oleh aturan-aturan tertentu di lingkungannya.

Pada saat anak masuk dunia sekolah, saat itulah oleh Kohlberg anak disebut masuk tahapan conventional stage, yaitu saat anak sudah mulai dikenalkan dengan aturan-aturan seperti kesamaan seragam, tidak boleh melakukan hal-hal tertentu, harus tenang dan rapi dan lain sebagainya. Pada saat ini kreativitas anak akan mulai turun. Sampai kemudian berlanjut pada tahap hyperconventionality, yaitu saat anak-anak mulai meniru hal apa saja yang dilakukan oleh teman-teman sekolahnya tanpa peduli apakah hal yang ditirunya merupakan sesuatu yang benar atau justru sebaliknya.

Masih menurut Kohlberg, setelah anak-anak mengalami tahap hyperconventionality, sebenarnya anak-anak akan berpotensi untuk meningkat lagi sisi kreativitasnya yaitu saat memasuki tahap postconventional thinking. Menariknya, tahap ini bisa didapatkan saat mereka mendapatkan pengalaman yang benar dari lingkungannya.
 
Kalau kita cermati dari pendapat Kohlberg di atas, kita bisa tahu bahwa saat anak masih kecil, mereka cenderung tidak takut berbuat salah. Mereka bisa sepuasnya berteriak, tertawa, menangis, bernyanyi, mencorat-coret sepuas mereka tanpa harus dibatasi dengan berbagai macam aturan. Mereka akan terus mengambil kesempatan apapun yang bisa didapatkannya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Saat mereka belum mendapatkannya, mereka mendapatkan motivasi internal untuk melakukan evaluasi atas langkah yang telah dipilih sebelumnya dan kemudian menggantinya dengan langkah lain sampai keinginannya terpenuhi. Kondisi semacam ini tentu saja sangat mendukung terhadap penciptaan kreativitas individu. Sebuah kondisi yang digambarkan oleh Runcho dan Chand (1995, dalam Runco 2007) sebagai model komponensial dua tingkat.   

Model ini menyebutkan bahwa keberadaan pengetahuan yang memadai dan juga motivasi baik dari sisi internal maupun eksternal akan berpengaruh pada kemampuan seorang individu untuk menghasilkan ide kreatif saat menemukan sebuah permasalahan. Proses evaluasi dari sebuah kegagalan yang didapatkan individu saat menghadapi masalah juga berpotensi untuk menghasilkan ide kreatif bagi pemecahan masalah individu tersebut. Syaratnya, proses evaluasi tersebut bukan melemahkan semangat individu tersebut, melainkan sebaliknya yaitu memberikan motivasi untuk terus belajar.


Lalu apa hubungan teori dari Kohlberg dan Runcho-Chand di atas dengan kondisi pendidikan di Indonesia? Akan kita bahas di bagian selanjutnya...

No comments:

Post a Comment