Suatu hari saya harus menemui salah satu klien yang
ingin melakukan konsultasi terhadap permasalahan yang dialami oleh anaknya.
Kemudian tercapailah sebuah kesepakatan bahwa kami akan bertemu di sebuah kafe
untuk membicarakannya. Singkat cerita, hanya sedikit yang beliau ceritakan
tentang anaknya tersebut, justru beliau lebih banyak menceritakan tentang
permasalahannya dengan istrinya yang ternyata juga sudah dihubungi untuk
kemudian menyusul kami di kafe tempat kami bertemu tersebut. Benar sekali, tak
berapa lama istri beliau pun muncul dan itu artinya langsung ada dua klien yang
harus saya temui saat itu. Wow,benar-benar kejadian tak terduga, asesmen awalnya
adalah konsultasi anak, berlanjut jadi konsultasi pasangan.
Masing-masing pun menceritakan masalahnya dan
ternyata akar masalah beliau berdua hanya sederhana saja, sesederhana cara penyelesaian
yang saya terapkan pada beliau berdua.
Nah, lalu apa akar permasalahan dan penyelesaian yang
dikatakan sederhana ini? Pertanyaan yang akan saya jawab setelah topik utama
artikel ini selesai dibahas. Semoga sabar yaa..
Kalau kita bicara tentang parenting, sudah pasti yang ada di benak kita adalah berhubungan
dengan keluarga. Memang benar demikian adanya. Kata parenting jika diterjemahkan adalah proses bertindak sebagai orang
tua. Terdapat kata ‘proses’ yang artinya berkaitan dengan sebuah aktivitas yang
sudah, sedang dan akan dilakukan dalam rangka mewujudkan sebuah tujuan untuk
menjadi pasangan suami istri maupun orang tua yang sukses dan bahagia. Tentu
saja hal ini akan lebih mudah tercapai saat ikatan perkawinan antar mereka
kokoh, tetap langgeng.
Kunci kelanggengan perkawinan adalah kemampuan
pasangan untuk melakukan penyesuaian dengan dirinya sendiri, pasangannya maupun
lingkungan sekitarnya. Adapun salah satu unsur penting dalam penyesuaian
perkawinan adalah keberadaan komunikasi yang baik.
Salah satu presuposisi dalam Neuro Linguistic Programming mengatakan “makna komunikasi terletak
pada respon yang kita dapatkan”. Sebuah pernyataan sederhana yang kemudian bisa
kita artikan bahwa kita dianggap berhasil dalam berkomunikasi saat kita
mendapatkan respon dari orang lain seperti yang kita harapkan. Tidak peduli
sudah seberapa banyak kata yang sudah kita gunakan, kalau faktanya respon yang
kita harapkan dari orang lain belum kita dapatkan berarti belum sah kita
dianggap berkomunikasi.
Tentang komunikasi ini, banyak orang sering
menganggapnya sepele. Apalagi dengan pasangannya yang sudah saling menemani
selama bertahun-tahun. Maka yang sering terjadi adalah, masing-masing
mengasumsikan bahwa pasangannya pasti sudah
tahu apa yang ada dalam pikirannya dan sekaligus menganggap kita juga sudah
tahu banyak tentang pasangan kita sehingga tidak perlu melakukan terlalu banyak
konfirmasi untuk memastikannya.
Maka di sinilah letak bahaya mind reading (membaca pikiran orang) dalam dunia parenting, yaitu saat seseorang belum
menyadari sepenuhnya bahwa the map is not
the territory, bahwa apa yang ada dalam pikiran kita belum tentu sama dengan
apa yang ada dalam pikiran pasangan kita.
Mudahnya begini, kalau ada seorang pria dewasa yang
saat kecilnya, pada waktu dia sedang diam, dia dibiarkan saja oleh orang tuanya
sampai akhirnya bersedia bicara kembali. Kemungkinan besar pria ini juga akan
lebih senang jika dibiarkan sendiri saat sedang diam. Masalah muncul saat si
pria ini menganggap pasangannya pasti sudah tahu apa yang harus dilakukannya
jika melihatnya ‘diam’ atau saat pria ini membiarkan pasangannya yang sedang
‘diam’ karena menganggap pasangannya punya pola yang sama dengan pria ini.
Padahal, bisa jadi polanya akan jauh berbeda.
Virginia Satir, salah satu pakar terapi keluarga
yang juga dimodel oleh Bandler dan Grinder mengatakan “our behavior reflects what we have learned.
Learning is the basis of behavior. To change behavior, we need to have new
learning” Oleh karena itu, perlu lebih berhati-hati saat kita ingin melakukan mind
reading dalam kehidupan keluarga kita sehari-hari, baik itu dengan pasangan
maupun dengan anak-anak kita. Bolehlah kita melakukannya saat kita memang sudah
melihat sebuah konsistensi pola dari perilaku pasangan atau anak-anak kita,
walaupun akan tetap lebih kuat lagi jika kita sudah melakukan konfirmasi dengan
menanyakannya pada mereka.
Dengan
kata lain, jika kita juga tidak ingin pasangan atau keluarga kita melakukan mind
reading yang tidak tepat pada kita, sebaiknya kita juga bersedia terbuka,
lebih asertif, untuk menyampaikan apa adanya apa yang kita inginkan. Model “I-Statement”
boleh kita gunakan sebagai salah satu metode untuk membiasakan menyampaikan
keinginan kita. Rumus sederhananya adalah When you… I feel.. then I want…. (Saat
kamu… Saya merasa…. sehingga saya ingin….). Contohnya, saat kamu terlalu
banyak bertanya pada waktu saya sedang ingin diam, saya merasa tidak nyaman,
saya hanya ingin kamu membiarkan saja saya beberapa lama saat saya diam
sehingga saya merasa nyaman.
Jadi,
apa hal sederhana yang sebenarnya menjadi permasalahan klien yang saya
ceritakan di awal? Ya, masalahnya hanya terletak pada komunikasi. Lalu
apa hal sederhana yang diterapkan untuk membantu mereka? Hal sederhana itu
adalah membuat masing-masing bersedia terbuka untuk menyampaikan apa
sebenarnya keinginan dan harapan sehingga terjalin pemahaman yang sama antara
beliau berdua.
Sekali lagi, the
map is not the territory, setiap individu adalah unik. Maka, sebagaimana
pesan Virginia Satir di atas, terus
belajar untuk memahami keunikan orang lain, termasuk pasangan kita,
anak-anak kita, keluarga kita dan tentu saja untuk ini, dengan NLP akan lebih
mudahlah prosesnya.
No comments:
Post a Comment