Wednesday, November 30, 2016

NLP for Parenting : Bahaya Mind Reading



Suatu hari saya harus menemui salah satu klien yang ingin melakukan konsultasi terhadap permasalahan yang dialami oleh anaknya. Kemudian tercapailah sebuah kesepakatan bahwa kami akan bertemu di sebuah kafe untuk membicarakannya. Singkat cerita, hanya sedikit yang beliau ceritakan tentang anaknya tersebut, justru beliau lebih banyak menceritakan tentang permasalahannya dengan istrinya yang ternyata juga sudah dihubungi untuk kemudian menyusul kami di kafe tempat kami bertemu tersebut. Benar sekali, tak berapa lama istri beliau pun muncul dan itu artinya langsung ada dua klien yang harus saya temui saat itu. Wow,benar-benar kejadian tak terduga, asesmen awalnya adalah konsultasi anak, berlanjut jadi konsultasi pasangan.

Masing-masing pun menceritakan masalahnya dan ternyata akar masalah beliau berdua hanya sederhana saja, sesederhana cara penyelesaian yang saya terapkan pada beliau berdua.

Nah, lalu apa akar permasalahan dan penyelesaian yang dikatakan sederhana ini? Pertanyaan yang akan saya jawab setelah topik utama artikel ini selesai dibahas. Semoga sabar yaa..

Kalau kita bicara tentang parenting, sudah pasti yang ada di benak kita adalah berhubungan dengan keluarga. Memang benar demikian adanya. Kata parenting jika diterjemahkan adalah proses bertindak sebagai orang tua. Terdapat kata ‘proses’ yang artinya berkaitan dengan sebuah aktivitas yang sudah, sedang dan akan dilakukan dalam rangka mewujudkan sebuah tujuan untuk menjadi pasangan suami istri maupun orang tua yang sukses dan bahagia. Tentu saja hal ini akan lebih mudah tercapai saat ikatan perkawinan antar mereka kokoh, tetap langgeng.

Kunci kelanggengan perkawinan adalah kemampuan pasangan untuk melakukan penyesuaian dengan dirinya sendiri, pasangannya maupun lingkungan sekitarnya. Adapun salah satu unsur penting dalam penyesuaian perkawinan adalah keberadaan komunikasi yang baik.

Salah satu presuposisi dalam Neuro Linguistic Programming mengatakan “makna komunikasi terletak pada respon yang kita dapatkan”. Sebuah pernyataan sederhana yang kemudian bisa kita artikan bahwa kita dianggap berhasil dalam berkomunikasi saat kita mendapatkan respon dari orang lain seperti yang kita harapkan. Tidak peduli sudah seberapa banyak kata yang sudah kita gunakan, kalau faktanya respon yang kita harapkan dari orang lain belum kita dapatkan berarti belum sah kita dianggap berkomunikasi.

Tentang komunikasi ini, banyak orang sering menganggapnya sepele. Apalagi dengan pasangannya yang sudah saling menemani selama bertahun-tahun. Maka yang sering terjadi adalah, masing-masing mengasumsikan bahwa pasangannya pasti sudah tahu apa yang ada dalam pikirannya dan sekaligus menganggap kita juga sudah tahu banyak tentang pasangan kita sehingga tidak perlu melakukan terlalu banyak konfirmasi untuk memastikannya.

Maka di sinilah letak bahaya mind reading (membaca pikiran orang) dalam dunia parenting, yaitu saat seseorang belum menyadari sepenuhnya bahwa the map is not the territory, bahwa apa yang ada dalam pikiran kita belum tentu sama dengan apa yang ada dalam pikiran pasangan kita.

Mudahnya begini, kalau ada seorang pria dewasa yang saat kecilnya, pada waktu dia sedang diam, dia dibiarkan saja oleh orang tuanya sampai akhirnya bersedia bicara kembali. Kemungkinan besar pria ini juga akan lebih senang jika dibiarkan sendiri saat sedang diam. Masalah muncul saat si pria ini menganggap pasangannya pasti sudah tahu apa yang harus dilakukannya jika melihatnya ‘diam’ atau saat pria ini membiarkan pasangannya yang sedang ‘diam’ karena menganggap pasangannya punya pola yang sama dengan pria ini. Padahal, bisa jadi polanya akan jauh berbeda.

Virginia Satir, salah satu pakar terapi keluarga yang juga dimodel oleh Bandler dan Grinder mengatakan “our behavior reflects what we have learned. Learning is the basis of behavior. To change behavior, we need to have new learning” Oleh karena itu, perlu lebih berhati-hati saat kita ingin melakukan mind reading dalam kehidupan keluarga kita sehari-hari, baik itu dengan pasangan maupun dengan anak-anak kita. Bolehlah kita melakukannya saat kita memang sudah melihat sebuah konsistensi pola dari perilaku pasangan atau anak-anak kita, walaupun akan tetap lebih kuat lagi jika kita sudah melakukan konfirmasi dengan menanyakannya pada mereka.

Dengan kata lain, jika kita juga tidak ingin pasangan atau keluarga kita melakukan mind reading yang tidak tepat pada kita, sebaiknya kita juga bersedia terbuka, lebih asertif, untuk menyampaikan apa adanya apa yang kita inginkan. Model “I-Statement” boleh kita gunakan sebagai salah satu metode untuk membiasakan menyampaikan keinginan kita. Rumus sederhananya adalah When you… I feel.. then I want…. (Saat kamu… Saya merasa…. sehingga saya ingin….). Contohnya, saat kamu terlalu banyak bertanya pada waktu saya sedang ingin diam, saya merasa tidak nyaman, saya hanya ingin kamu membiarkan saja saya beberapa lama saat saya diam sehingga saya merasa nyaman.

Jadi, apa hal sederhana yang sebenarnya menjadi permasalahan klien yang saya ceritakan di awal? Ya, masalahnya hanya terletak pada komunikasi. Lalu apa hal sederhana yang diterapkan untuk membantu mereka? Hal sederhana itu adalah membuat masing-masing bersedia terbuka untuk menyampaikan apa sebenarnya keinginan dan harapan sehingga terjalin pemahaman yang sama antara beliau berdua.

Sekali lagi, the map is not the territory, setiap individu adalah unik. Maka, sebagaimana pesan Virginia Satir di atas, terus belajar untuk memahami keunikan orang lain, termasuk pasangan kita, anak-anak kita, keluarga kita dan tentu saja untuk ini, dengan NLP akan lebih mudahlah prosesnya.

No comments:

Post a Comment