Monday, November 11, 2013

Oleh-oleh Pendidikan (bagian 3)


Pada saat sesi tanya jawab, penulis buku "Guru Gokil Murid Unyu" ini membeberkan beberapa tips untuk "menulis dengan hati". Menurut beliau, hanya tulisan "dari hati"lah yang akan sampai ke hati. Lalu bagaimana caranya? tak lain dan tak bukan adalah dengan cara menulis hal apapun yang memang pernah dialami dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi apa yang beliau tulis lewat essay beliau, apa yang beliau sampaikan dalam buku beliau, semua berdasarkan pengalaman nyata beliau saat berinteraksi dengan anak didik dalam kapasitas sebagai seorang pengajar.

Ada hal menarik lain yang sempat saya catat mengenai hal inovatif lain yang dilakukan pak J sebagai guru. Kebetulan sekolah tempat beliau mengajar mengadakan semacam program "living in" yaitu tinggal di daerah-daerah tertentu, misalnya kampung penduduk terpencil, kampung sampah, dan lain-lain. Salah seorang siswanya bertugas  di pemakaman warga. Tugasnya adalah membantu petugas gali kubur menguburkan jenazah. Setelah beberapa hari menjalani proses living in , tibalah waktu bagi sang siswa untuk kembali ke sekolahnya.

Sampai di sekolah, salah satu pelajaran yang diikutinya adalah sejarah. Salah satu pelajaran yang diampu juga oleh Pak J. Setelah beberapa waktu bertemu,  tibalah waktunya ulangan harian untuk mata pelajaran sejarah ini. Secara mengejutkan, ternyata soalnya hanya satu tugas saja. Apa itu tugasnya? Menceritakan pengalaman yang dialami para siswanya selama menjalani proses living in. Salah seorang siswa pun bertanya kepada pak J, " Lho pak, bukannya ini pelajaran sejarah pak? Kok tugasnya mengarang? Seperti pelajaran bahasa Indonesia saja". Pak J pun menjawab "Benar sekali nak, ini adalah pelajaran sejarah. Bukankah yang namanya sejarah itu adalah masa lalu atau the past time? Bukankah apa yang sudah kamu alami sebelumnya itu adalah sebuah SEJARAH bagi kamu?" AHA!!! keluar dari pakem, ya..

Kembali kepada apa yang disampaikan oleh beliau di awal seminar, bahwa pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang terkait langsung dengan tantangan hidup yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka. So, definisi siwa yang SMART menurut beliau adalah mereka yang bisa menyelesaikan permasalahan hidup mereka. Untuk membentuk seorang siwa yang SMART membutuhkan kerja sama baik dari unsur orang tua maupun pendidik itu sendiri. Siswa yang pandai secara akademik, belum tentu masuk dalam kategori SMART. Oleh karena itu diperlukan kecerdasan dari seorang pendidik untuk tidak hanya sekedar mendidik, tetapi juga mampu memetakan, mengarahkan, dan mengembangkan setiap potensi yang dimiliki oleh anak didiknya.

Oke, sampai bagian 3 ini adalah apa yang disampaikan oleh pak J. Bagian berikutnya akan  saya sharingkan beberapa hal yang disampaikan oleh DIK DOANK, seorang artis yang memutuskan untuk terjun ke dunia pendidikan. See U....

to be continued....

No comments:

Post a Comment