Momentum Idul Fitri sering
digunakan untuk saling meminta maaf satu dengan yang lain. Penekannya biasanya
lebih ke MEMINTA maaf, jarang sekali yang membahas tentang MEMBERI maaf alias
MEMAAFKAN. Padahal dalam kitab suci umat Islam (Al Quran) jumlah kata
‘memaafkan’ ternyata jauh lebih banyak dari pada ‘minta maaf’ walaupun
konteksnya bisa dalam bentuk kata ‘memberi maaf’ atau ‘pemberian maaf’ dan
beberapa kata lain yang intinya adalah tentang memaafkan.
Saya tidak tahu kenapa begitu.
Seolah ingin menjelaskan bahwa walaupun kedua perbuatan tersebut (memaafkan dan
minta maaf) adalah perbuatan yang sama-sama baik, tetapi memaafkan itu seperti
memiliki nilai yang lebih tinggi daripada meminta maaf. Secara logika sederhana, kalau kita mau
berpikir, bisa jadi memang demikian. Bayangkan saja, kita yang disakiti, kita
yang diperlakukan secara tidak nyaman oleh orang lain, tetapi justru kita yang
diminta memaafkan mereka. Apalagi saat harus memaafkan mereka, tanpa didahului
permintaan maaf dari mereka yang menyakiti kita. Wow!! bagaimana rasanya ya…
Lha wong seringkali mereka yang menyakiti kita sudah minta maaf duluan saja,
kita masih berat untuk memaafkan, apalagi ini, mereka belum minta maaf kita
sudah disuruh memaafkan dulu. Memang bisa?
Kalau ditanya begitu, berdasarkan
pengalaman praktik saya pada diri saya sendiri dan pada klien-klien, jawaban
saya insya Allah BISA. Bahkan saya atau klien saya tidak harus bertemu langsung
dengan orang yang akan dimaafkan. Ya, tepatnya hanya menggunakan sisi kreatif
dari pikiran kita saja, menggunakan imajinasi kita. Ah, bukankah sebenarnya
konflik kita dengan orang lain itu sebenarnya tidak secara langsung dengan
orang lain itu ya. Sepertinya lebih tepat dikatakan bahwa konflik kita dengan orang lain sebenarnya
adalah konflik antara kita dengan PERSEPSI KITA tentang orang lain. Masih ingat
ya pelajaran kemarin tentang EVENT+RESPONSE = HASIL PERILAKU. Maka dalam
memaafkan yang diotak-atik adalah tentang ‘respon dalam pikiran’ kita.
Lalu bagaimana kita tahu kalau
kita sudah dianggap memaafkan? Apakah saat kita menyampaikan,”saya sudah
memaafkanmu, semoga Allah membalas perbuatanmu dengan lebih dari yang kau
lakukan padaku”. Hehehe.. kalau itu mah, masih dendam namanya… Atau sudah
‘merasa’ memaafkan tetapi masih ada gejolak rasa tidak nyaman dalam hati? Ah
itu juga belum memaafkan. Pernah juga ada yang bilang, “saya sudah memaafkan,
tapi kok saya masih ingat semuanya ya?” Perlu dikoreksi juga ucapan ini, karena
memaafkan tidak berarti melupakan. Memaafkan tidak berarti juga kita kalah
dengan orang yang kita maafkan. Memaafkan tidak berarti juga kita setuju dengan
perilaku orang yang kita maafkan. Memaafkan itu adalah egois, untuk diri kita
sendiri yang prosesnya tidak harus melibatkan secara langsung orang yang kita
maafkan. Memaafkan adalah membawa rasa nyaman tenang dimanapun kita berada.
Memaafkan adalah saat tetap bisa tersenyum bahkan bisa tertawa saat mengingat
semua kejadian yang terkait dengan orang yang kita maafkan tersebut. Memaafkan
adalah saat kita dengan rendah hati sudah bisa mengatakan padanya “terima
kasih, telah berkenan menjadi guru kebijaksanaan dalam hidup saya secara
gratis, terima kasih sudah mau menjadi perantara tersampaikannya hikmah kepada
saya dengan perilakumu”.
Lah.. memang bisa mencapai semua
kriteria ideal di atas? sekali jawaban saya, insya Allah bisa. Caranya? Sabar
dulu ya.. kita sambung di part berikutnya.
No comments:
Post a Comment