Sunday, October 30, 2016

Sudahkah Kita Memaafkan? (part 1)



Momentum Idul Fitri sering digunakan untuk saling meminta maaf satu dengan yang lain. Penekannya biasanya lebih ke MEMINTA maaf, jarang sekali yang membahas tentang MEMBERI maaf alias MEMAAFKAN. Padahal dalam kitab suci umat Islam (Al Quran) jumlah kata ‘memaafkan’ ternyata jauh lebih banyak dari pada ‘minta maaf’ walaupun konteksnya bisa dalam bentuk kata ‘memberi maaf’ atau ‘pemberian maaf’ dan beberapa kata lain yang intinya adalah tentang memaafkan.

Saya tidak tahu kenapa begitu. Seolah ingin menjelaskan bahwa walaupun kedua perbuatan tersebut (memaafkan dan minta maaf) adalah perbuatan yang sama-sama baik, tetapi memaafkan itu seperti memiliki nilai yang lebih tinggi daripada meminta maaf.  Secara logika sederhana, kalau kita mau berpikir, bisa jadi memang demikian. Bayangkan saja, kita yang disakiti, kita yang diperlakukan secara tidak nyaman oleh orang lain, tetapi justru kita yang diminta memaafkan mereka. Apalagi saat harus memaafkan mereka, tanpa didahului permintaan maaf dari mereka yang menyakiti kita. Wow!! bagaimana rasanya ya… Lha wong seringkali mereka yang menyakiti kita sudah minta maaf duluan saja, kita masih berat untuk memaafkan, apalagi ini, mereka belum minta maaf kita sudah disuruh memaafkan dulu. Memang bisa?

Kalau ditanya begitu, berdasarkan pengalaman praktik saya pada diri saya sendiri dan pada klien-klien, jawaban saya insya Allah BISA. Bahkan saya atau klien saya tidak harus bertemu langsung dengan orang yang akan dimaafkan. Ya, tepatnya hanya menggunakan sisi kreatif dari pikiran kita saja, menggunakan imajinasi kita. Ah, bukankah sebenarnya konflik kita dengan orang lain itu sebenarnya tidak secara langsung dengan orang lain itu ya. Sepertinya lebih tepat dikatakan bahwa  konflik kita dengan orang lain sebenarnya adalah konflik antara kita dengan PERSEPSI KITA tentang orang lain. Masih ingat ya pelajaran kemarin tentang EVENT+RESPONSE = HASIL PERILAKU. Maka dalam memaafkan yang diotak-atik adalah tentang ‘respon dalam pikiran’ kita.

Lalu bagaimana kita tahu kalau kita sudah dianggap memaafkan? Apakah saat kita menyampaikan,”saya sudah memaafkanmu, semoga Allah membalas perbuatanmu dengan lebih dari yang kau lakukan padaku”. Hehehe.. kalau itu mah, masih dendam namanya… Atau sudah ‘merasa’ memaafkan tetapi masih ada gejolak rasa tidak nyaman dalam hati? Ah itu juga belum memaafkan. Pernah juga ada yang bilang, “saya sudah memaafkan, tapi kok saya masih ingat semuanya ya?” Perlu dikoreksi juga ucapan ini, karena memaafkan tidak berarti melupakan. Memaafkan tidak berarti juga kita kalah dengan orang yang kita maafkan. Memaafkan tidak berarti juga kita setuju dengan perilaku orang yang kita maafkan. Memaafkan itu adalah egois, untuk diri kita sendiri yang prosesnya tidak harus melibatkan secara langsung orang yang kita maafkan. Memaafkan adalah membawa rasa nyaman tenang dimanapun kita berada. Memaafkan adalah saat tetap bisa tersenyum bahkan bisa tertawa saat mengingat semua kejadian yang terkait dengan orang yang kita maafkan tersebut. Memaafkan adalah saat kita dengan rendah hati sudah bisa mengatakan padanya “terima kasih, telah berkenan menjadi guru kebijaksanaan dalam hidup saya secara gratis, terima kasih sudah mau menjadi perantara tersampaikannya hikmah kepada saya dengan perilakumu”.

Lah.. memang bisa mencapai semua kriteria ideal di atas? sekali jawaban saya, insya Allah bisa. Caranya? Sabar dulu ya.. kita sambung di part berikutnya.

No comments:

Post a Comment