Monday, January 20, 2014

Perjalanan yang Bertata Krama

Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan.........

Tubuhku terguncang dihempas batu jalanan
Hati tergetar menampak kering Rerumputan
Perjalanan inipun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedih...



Sepenggal lirik lagu dari Ebiet G Ade menjadi pengantar saya untuk menulis hari ini. Seseorang bijak pernah berkata, hidup adalah perjalanan, perjalanan untuk kembali. Maka apapun yang kita lakukan dalam hidup ini, pada hakikatnya adalah menuju sebuah peraduan, peraduan yang sama, menyatu kembali denganNya.

Maka seharusnya kita lebih berhati-hati dengan aktivitas apapun yang kita jalani sehari-hari. Termasuk salah satunya adalah saat kita melakukan aktivitas yang berkaitan dengan jalan raya. Entah itu kita berjalan kaki, bersepeda, bersepeda motor, menggunakan mobill, dan lain-lain. Alangkah baiknya saat kita juga memiliki etika di dalamnya.

Kalau kita mau sadari, bahwa jalan raya adalah fasilitas publik. Namanya juga publik, berarti tidak dikhususkan untuk satu atau dua orang saja bukan? Itu artinya, menjadi sangat mungkin bahwa dalam satu kali perjalanan kita, kita akan bertemu, berpapasan dengan begitu banyak orang dengan kepentingannya masing-masing. Bisa jadi juga pertemuan kita dengan pengguna jalan adalah pertemuan pertama kali sepanjang hidup kita dan suatu hari bertemua lagi. Bisa jadi juga pertemuan kita dengan pengguna jalan lain adalah pertemuan pertama sekaligus terakhir yang artinya selanjutnya kita tak bertemu lagi.

Kesadaran di atas akan membawa kita ke arah pemahaman bahwa kita perlu lebih berhati-hati saat berkendara atau melakukan aktivitas di jalan raya. Lebih dari sekedar keselamatan fisik kita maupun orang lain, kita juga harus mempertimbangkan tentang ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pengguna jalan lain saat kita berkendara atau beraktivitas di jalan raya dengan seenaknya sendiri. 

Bayangkan saat kita misalnya  naik motornya asal-asalan. Tak sengaja kita hampir menyerempet seorang ibu yang ingin berangkat ke pasar. Ibu itu hampir jatuh dan kita hanya sedikit melongok di spion dan berkata dalam hati, " Ah.. ibu itu tidak apa-apa kok, lanjut sajalah". Saat terjadi hal semacam itu, sudah selesaikah urusannya? Aha, tidak sesederhana itu.

Iya kalau ibu itu tidak berfikir apapun. Nah kalau si ibu merasa tidak nyaman dengan kelakukan kita, berarti kita sudah berbuat kesalahan dong. Kesalahan apa? ya itu, membuat orang lain tidka nyaman dengan perilaku kita. Kalau pas kita lagi nyadar, ya oke lah, mungkin kita akan langsung menghampiri si ibu dan meminta maaf. Tidak meninggalkan yang namanya unfinished bisnis. Kalau pas lagi ga nyadar ? Bablas aja, ga berhenti , apalagi minta maaf, berarti kita meninggalkan sebuah urusan yang belum selesai. 

Seandainya kemudian kita bertemu lagi dengan si ibu di perjalanan selanjutnya dan kita menyempatkan diri untuk meminta maaf, bolehlah kita cukup tenang. Lha, tapi kalau ternyata perjumpaan kita dengan sang ibu adalah perjumpaan pertama dan terakhir dalam perjalanan kita? Waduh, bisa numpuk dosa dong kita?

Menarik bukan? Itu baru urusan dengan satu orang. Belum lagi saat kita nyalip sembarangan, membuat pengguna jalan lain kaget dan tidak nyaman, waah... sudah berapa banyak kesalahan yang kita tabung dalam perjalanan kita ya? Mending kalau nyadar, kalau ternyata berkendara seenaknya sudah menjadi habit? Yuk mari terapkan "Perjalanan Bertata Krama" agar semua nyaman, aman dan tentram.

No comments:

Post a Comment