Saturday, December 8, 2012

Kereta Api Sufi (bagian pertama)



Sebelum memulai cerita tentang kereta api ini, ijinkan saya mengutip beberapa kalimat dari Al Hikam :
Pelajarilah setiap tindakan-Nya, engkau akan menemui kelembutan-Nya. Setiap ketentuan-Nya selalu beriring dengan kebijaksanaan-Nya. Dia menyantunimu dengan semua hal, bahkan pada apa yang bisa jadi kau anggap sebagai penolakan. Sebab saat engkau merasakan sepi dari nikmat-Nya, sebenarnya Allah sedang berkehendak membuatmu ramai dengan hikmah-Nya. Bahkan dalam kesempitan Allah telah memberimu nikmat kesempatan. Kesempatan untuk tercerah karena keadaan berserah. Jadi apa bedanya? Kesempitan sama artinya dengan kelapangan.

Cerita dimulai saat saya akan mengadakan perjalanan ke luar kota untuk bersilaturrahmi dengan sahabat-sahabat saya di sana. Rencana dari awal memang ingin naik kereta api ekonomi begitu juga pulangnya. Namun beberapa hari menjelang keberangkatan, ternyata tiket diinfokan habis. Well, akhirnya ya sudahlah besok cari tiket bisnis saja batin saya waktu itu. Namun Alhamdulillaah, trnyata ada rekan yang berbaik hati mencarikan dan akhirnya tetap dapatlah tiket kereta api ekonomi, walaupun untuk pulangnya tetap akhirnya mencari yang bisnis.

Cerita menariknya adalah ketika saya beberapa kali ditanya tentang naik apa berangkat ke luar kotanya? Saya selalu menjawab “Naik Kereta Api SUFI”. Hehehe... begitu juga saat sahabat saya bertanya, kenapa naik kereta api ekonomi? Jawab saya saat itu “ ada begitu banyak pembelajaran yang bisa saya dapatkan di sana, mereka yang bisa menikmati hidup, berjualan tak kenal lelah dan masih banyak lagi, toh rasanya juga sama saja” ujar saya waktu itu.

Dan finally, berangkatlah saya dengan “Kereta Api Sufi” tadi. Subhanallah memang luar biasa sekali... saat itu saya satu tempat duduk dengan sebuah keluarga kecil sederhana, tapi sangat harmonis (paling tidak menurut persepsi saya saat itu). Sang Ayah bekerja di sebuah sekolah swasta, sang ibu bekerja di salah satu instansi pemerintah yang menangani orang-orang jalanan (anak jalanan, PSK, waria, dsb). Mereka ditemani dua orang putra-puteri mereka sebut saja namanya Andi, anak yang besar, kelas 4 SD dan satunya Nina, belum sekolah, usianya sekitar 3,5 tahun.

Saya mengamati keluarga ini dari komunikasi yang dilakukan oleh sang ibu terhadap suaminya. Beliau menggunakan bahasa yang sangat sopan sekali (kalau di jawa, bahasa yang digunakan beliau namanya krama inggil, bahasa untuk orang yang sangat dihormati) suaranya pun lembut, menandakan hormat dan juga penuh kasih sayang.

.......to be continued......

No comments:

Post a Comment