Sebelum memulai cerita tentang
kereta api ini, ijinkan saya mengutip beberapa kalimat dari Al Hikam :
Pelajarilah setiap tindakan-Nya, engkau akan menemui kelembutan-Nya.
Setiap ketentuan-Nya selalu beriring dengan kebijaksanaan-Nya. Dia menyantunimu
dengan semua hal, bahkan pada apa yang bisa jadi kau anggap sebagai penolakan.
Sebab saat engkau merasakan sepi dari nikmat-Nya, sebenarnya Allah sedang
berkehendak membuatmu ramai dengan hikmah-Nya. Bahkan dalam kesempitan Allah
telah memberimu nikmat kesempatan. Kesempatan untuk tercerah karena keadaan
berserah. Jadi apa bedanya? Kesempitan sama artinya dengan kelapangan.
Cerita dimulai saat saya akan
mengadakan perjalanan ke luar kota untuk bersilaturrahmi dengan sahabat-sahabat
saya di sana. Rencana dari awal memang ingin naik kereta api ekonomi begitu
juga pulangnya. Namun beberapa hari menjelang keberangkatan, ternyata tiket
diinfokan habis. Well, akhirnya ya sudahlah besok cari tiket bisnis saja batin
saya waktu itu. Namun Alhamdulillaah, trnyata ada rekan yang berbaik hati
mencarikan dan akhirnya tetap dapatlah tiket kereta api ekonomi, walaupun untuk
pulangnya tetap akhirnya mencari yang bisnis.
Cerita menariknya adalah ketika
saya beberapa kali ditanya tentang naik apa berangkat ke luar kotanya? Saya
selalu menjawab “Naik Kereta Api SUFI”. Hehehe... begitu juga saat sahabat saya
bertanya, kenapa naik kereta api ekonomi? Jawab saya saat itu “ ada begitu
banyak pembelajaran yang bisa saya dapatkan di sana, mereka yang bisa menikmati
hidup, berjualan tak kenal lelah dan masih banyak lagi, toh rasanya juga sama
saja” ujar saya waktu itu.
Dan finally, berangkatlah saya dengan “Kereta Api Sufi” tadi.
Subhanallah memang luar biasa sekali... saat itu saya satu tempat duduk dengan
sebuah keluarga kecil sederhana, tapi sangat harmonis (paling tidak menurut
persepsi saya saat itu). Sang Ayah bekerja di sebuah sekolah swasta, sang ibu
bekerja di salah satu instansi pemerintah yang menangani orang-orang jalanan
(anak jalanan, PSK, waria, dsb). Mereka ditemani dua orang putra-puteri mereka
sebut saja namanya Andi, anak yang besar, kelas 4 SD dan satunya Nina, belum
sekolah, usianya sekitar 3,5 tahun.
Saya mengamati keluarga ini dari
komunikasi yang dilakukan oleh sang ibu terhadap suaminya. Beliau menggunakan
bahasa yang sangat sopan sekali (kalau di jawa, bahasa yang digunakan beliau
namanya krama inggil, bahasa untuk orang yang sangat dihormati) suaranya pun
lembut, menandakan hormat dan juga penuh kasih sayang.
.......to be continued......
No comments:
Post a Comment