Sunday, July 21, 2013

Back To Basic

Sedikit merenungkan mengenai keberadaan kita sebagai seorang manusia dalam hidup ini...

Bukankah sejatinya manusia itu diciptakan untuk mengabdi dan beribadah kepadaNya?
Bukankah untuk itu kita telah dibekali dengan berbagai macam sumber daya yang akan menguatkan kita untuk mencapai tujuan tersebut di atas?
Bukankah sudah disampaikan bahwa kita telah diciptakan dengan  sebaik-baik bentuk?
Bukankah sudah disampaikan bahwa bersama sebuah kesulitan itu juga ada kemudahan yang membersamainya?


Bukankah setiap jiwa pada hakikatnya berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya?
Bukankah setiap manusia akan mengalami kematian dan akan diuji dengan kebaikan dan keburukan sebagai cobaan?
Bukankah memang sudah fitrahnya manusia untuk selalu merasa rindu untuk 'kembali' ke asalnya?

Pertanyaan-pertanyaan yang barangkali sudah sering kita dengar atau bahkan kita renungkan. Namun pada akhirnya hanya terhenti pada sebatas renungan saja. Pada akhirnya tidak teraplikasikan secara nyata dan memberikan 'nyawa' pada setiap aktivitas yang kita jalani sehari-hari. Akibatnya, aktivitas yang kita jalani menjadi hampa, seolah tanpa makna dan hanya menjadi rutinitas belaka.

Fitrahnya manusia adalah menjadi penebar manfaat kepada sekitarnya. Barangkali itu adalah pengejawantahan dari tugas kita untuk mengabdi dan beribadah kepadaNya. Karena kesadaran bahwa tugas kita memberikan manfaat akan menyambungkan diri kita dengan tugas untuk beribadah itu sendiri. Manfaat identik dengan kebaikan dan kebaikan itu adalah terkait dengan sifat-sifatNya. Saat kita berbuat baik, maka itulah kesadaran bahwa hidup itu adalah untuk mengabdi.

Saat kita ingin memberikan manfaat, bisa diibaratkan saat kita ingin memberikan kepada seseorang satu gelas air putih. Kalau kita ingin memberikan satu gelas, maka minimal kita punya stok satu gelas air putih. Kalau kita punya stok lebih banyak lalu bagaimana? otomatis jumlah penerima akan lebih banyak. Demikian analogi sederhananya. So, saat kita ingin memberikan manfaat lebih banyak, itu berarti kita berharap bisa berbagi kebaikan lebih banyak. Agar bisa berbagi banyak, maka kita membutuhkan sumber daya yang banyak pula. Apakah itu sudah tersedia? Tentu kita harus yakini iya!! Sumber daya itu sudah tersedia, baik dari dalam diri kita maupun orang lain. 

Kuncinya sekarang kembali kepada diri kita, kembali kepada kesadaran kita. Maukah kita sadar untuk kemudian terus menggali potensi-potensi sumber daya itu? Kemudian memanfaatkannya, membagikannya sebagai wujud rasa syukur kita atas perolehan sumber daya yang kita dapatkan. Dan kemudian menggali lagi untuk mendapatkan sumber daya yang lain, dan kemudian membagikannya lagi, menebarkan kembali kemanfaatan yang semakiin banyak di lingkungan kita.

Jadi kira-kira kalau ada kalimat yang menyebutkan bahwa manusia adalah khalifah fil ardhi, apa terjemahannya? Persisnya saya juga belum tahu. Tapi bolehlah kita memahami seperti ini, yang namanya khalifah itu kan artinya pemimpin. Pemimpin itu berarti punya yang dipimpin. Tugas seorang pemimpin adalah mengarahkan siapapun, apapun yang dipimpinnya agar menjadi baik. Dalam konteks negara, berarti negara tersebut menjadi makmur dan sejahtera. Dalam konteks perusahaan, berarti bagaimana agar perusahaan bisa berkembang maju, karyawan sejahtera, masyarakat mendapatkan manfaat juga di dalamnya. Dalam konteks keluarga, berarti bagaimana menjadikan seluruh potensi yang ada untuk menjadikan keluarganya menjadi sakinah, mawaddah, warrohmah. Dalam konteks diri, berarti bagaimana menjadikan diri menjadi teladan yang baik, diri yang dicintai dan dihargai oleh sekitarnya, dan seterusnya.

Lalu apa batasannya? Berapa jumlah yang kita pimpin? Mana saja sumber daya yang menjadi hak kita? Seberapa luas jangkauan wilayah ke-khalifah-an kita? Aaa... itu adalah rahasiaNya bukan? Jadi kuncinya adalah bagaimana kita melihat dengan lebih sadar akan sumber daya apapun yang ada dalam diri kita maupun diluar diri kita yang bisa kita akses. Lalu kita gunakan itu dengan sebaik-baiknya. Kita 'pimpin' mereka semua untuk menuju ke arah yang memberdayakan. Terus lakukan yang terbaik, sampai saat itu tiba, dimana kita akan dimintai pertanggung jawabannya. 

Hmmm... kalau diteruskan sepertinya masih panjang pembahasan ini. Tulisan ini sengaja dibiarkan mengalir, tanpa diedit, tanpa membaca lagi apakah pembaca akan memahami dengan baik maksud dibalik setiap kata maupun keseluruhan dari tulisan ini. Ah biarkan saja mengalir, karena memang jari ini sedang ingin menuliskan beberapa untaian hikmah yang baru saja didapatkan dari sekian banyak peristiwa yang terjadi. 

Jadi teringat sebuah rangkaian kata yang disampaikan oleh pemateri kultum hari sabtu kemarin, BACK TO BASIC. Mari kembali ke wilayah kesadaran untuk memahami siapa sejatinya diri kita? Kemana kita akan pergi? Mengapa kita diciptakan? Dari mana kita berasal? TanpaNya kita bukan apa-apa, tanpa pertolonganNya maka tak akan mampu kita menaklukkan dunia.

*Salaman*

No comments:

Post a Comment